Oleh:
Jazuli Juwaini
Anggota
Komisi II DPR RI/Kandidat Doktor Manajemen SDM UNJ
Pemilihan
umum (pemilu) merupakan pengejawantahan demokrasi yang paling dasar. Melalui
pemilu, rakyat menyalurkan suaranya dan terlibat dalam proses transisi
kepemimpinan bangsa. Maka pemilu harus dilaksanakan secara akuntabel dan
menempatkan rakyat secara tepat di atas kepentingan politik atau golongan.
Dalam perspektif ini penulis menyoroti pemberlakuan ambang batas partai politik
dapat mencalonkan pasangan presiden-wapres atau lazim disebut Presidential Threshold sebagaimana
diatur di dalam UU Pemilu Presiden-Wapres.
Sebagaimana
kita ketahui UU Pilpres-Wapres menetapkan aturan bahwa pasangan calon presiden
dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
yang memenuhi 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional pada
pemilu DPR. Aturan ini berlaku sejak pemilu 2004 dan konsisten diberlakukan
meskipun sebagian Kalangan Dewan mengehendaki penghapusan. Paling kurang
terdapat empat argumentasi yang mendasari Presidential
Threshold.
Pertama,
kebutuhan untuk membangun sistem presidensial yang kuat. Sehingga sejak awal
pencalonan didesain sedemikian agar partai politik memiliki dukungan memadai
untuk dapat mencalonkan pasangan presiden-wapres. Sistem presidensial perlu
diperkuat karena kekuasaan negara ada di tangannya sehingga supporting untuk itu perlu dijamin sejak
proses pemilu.
Kedua,
kebutuhan untuk membangun pemerintahan yang efektif. Dengan Presidential Threshold yang cukup besar
diharapkan tercipta jalannya roda pemerintahan yang efektif. Dengan minimal 20
persen dukungan di DPR, harapannya kebijakan yang akan diambil presiden-wapres
terpilih nantinya mendapatkan dukungan yang kuat di parlemen. Hal ini tentu
saja tidak menjamin proses kebijakan berjalan mulus, tapi paling kurang
dukungan 20 persen kursi parlemen sudah dikantongi presiden dan wapres
terpilih.
Ketiga,
ambang batas parpol dalam pengajuan pasangan calon presiden dan wapres juga
dimaksudkan untuk menyederhanakan sistem kepartaian. Banyaknya parpol yang
berkontestasi dalam pemilu diyakini hanya menyebabkan hiruk pikuk dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara. Apalagi di tengah sistem kepartaian yang
belum terlembaga, parpol dinilai masih belum menjelma menjadi aktor demokrasi
yang produktif dan berkualitas. Presidential
Threshold ‘memaksa’ partai politik untuk berkoalisi, karena diyakini tidak
akan ada parpol yang meraih suara mayoritas. Tradisi berkoalisi juga diyakini sesuai dengan
kultur politik indonesia yang mementingkan kolektivisme atau gotong royong.
Keempat,
meski minor tapi ada yang berpendapat bahwa Presidential
Threshold dimaksudkan untuk menyeleksi pasangan calon presiden-wapres sejak
awal (semacam preliminary election)
sebelum pemilu sesungguhnya, sehingga diharapkan hanya kandidat yang teruji dan
berkualitas yang akan dimajukan atau diusulkan sebagai riil pasangan capres-cawapres.
Menurut pendapat ini, yang paling diuntungkan sejatinya adalah pemilih karena calon
sudah terseleksi sejak awal sehingga pemilih tidak dipusingkan dengan banyaknya
calon yang harus dipilih.
Banyak Capres-Cawapres
Lebih Baik
Penulis
terlibat dalam diskursus pembahasan UU Pilpres-Wapres sejak tahun 2007/2008
(untuk pemilu 2009) hingga saat ini jelang pemilu 2014. Paripurna DPR memang
telah memutuskan tidak merevisi UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres-Wapres,
artinya pilpres-wapres yang akan datang tetap akan mengacu pada aturan (lama)
tersebut, yang di dalamnya mengatur ambang batas Presidential Threshold sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen
suara. Namun, dinamika dan diskursus Presidential
Threshold tetap hangat dibicarakan terkait langkah sejumlah pihak yang mengajukan
Judicial Review terhadap UU Nomor 42
Tahun 2008 ke Mahkamah Konstitusi.
Penulis
termasuk pihak yang setuju Presidential
Threshold dihapuskan dengan sejumlah argumentasi. Secara yuridis
penghapusan Presidential Threshold
sejalan dengan tekstual bunyi Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum.” Tafsir gramatikal dan tekstual dari hukum tertinggi yang
mengatur pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menjelaskan bahwa setiap partai
politik peserta pemilu berhak mengajukan pasangan capres-cawapres. Original intent pasal konstitusi
tersebut juga tidak memberikan pengecualian apalagi batasan terhadap partai
politik peserta pemilu untuk mencalonkan pasangan presiden-wapres. Lalu,
siapakah partai politik peserta pemilu, yaitu partai politik yang lolos
verifikasi KPU sebagai peserta pemilu legislatif dan pemilu presiden-wapres.
Sehingga seharusnya seluruh partai politik peserta pemilu 2014 dapat mengajukan
pasangan calon presiden-wapres.
Filosofi
pemilihan umum menyangkut hak dipilih dan hak memilih dan dalam konteks
demokrasi pelaksanaan hak tersebut merupakan esensi negara demokratis. Penulis
termasuk yang berpandangan bahwa hak memilih rakyat satu tarikan nafas dengan
hak dipilih, artinya pemilih harus memungkinkan (possible) untuk memilih
calon yang memang disediakan oleh sistem yang konstitusional dan tidak
mengikuti selera politik oligarkhis. Hak pemilih untuk mendapatkan akses
terhadap banyak alternatif calon presiden-wapres sesuai konstitusi dengan
demikian mendasar untuk diperhatikan.
Pesannya,
tidak boleh Presidential Threshold mengebiri
hak politik (melalui hak memilih) rakyat untuk mendapatkan Presiden dan Wakil
Presiden terbaik. Presidential Threshold 20
persen kursi DPR atau 25 persen suara sebagaimana langgam yang berlaku jelas
membatasi rakyat untuk mendapatkan alternatif pilihan yang lebih banyak dan
juga lebih baik (dapat dimaknai sebagai “pembatasan calon”). Pembatasan calon
berarti membatasi saluran politik pemilih dan dalam derajat tertentu mendorong voters turnout dalam bentuk golput,
karena calon terbaik menurut mereka tidak dapat menjadi riil pasangan
capres-wapres akibat pembatasan tersebut. Sebaliknya, penghapusan Presidential Threshold berarti membuka
saluran politik rakyat dan dalam derajat tertentu meningkatkan partisipasi
pemilih karena daya tarik calon presiden-wapres yang lebih banyak pilihan
alternatifnya.
Argumentasi
Presidential Threshold untuk
memperkuat sistem presidensial, mengefektifkan pemerintahan presiden-wapres
terpilih, penyederhanaan sistem kepartaian, dan membantu pemilih menyeleksi
capres-cawapres tidak sepenuhnya tepat. Dalam pandangan penulis, Pilpres-Wapres
selalu akan berlangsung dua putaran karena Konstitusi mengatur ketat syarat
keterpilihan pasangan calon presiden dan wapres yaitu harus “mendapatkan suara lebih dari lima puluh
persen dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap
provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia..” (vide
Pasal 6A Ayat (3).
Sementara sepanjang pemilu demokratis di negeri ini pasangan
capres-cawapres selalu lebih dari dua. Dengan demikian, koalisi di putaran
kedua adalah sebuah keniscayaan dan dengan sendirinya maksud penguatan sistem
presidensial melalui dukungan memadai partai-partai di parlemen tetap dapat terpenuhi.
Hanya saja bedanya, rakyat yang dimenangkan, karena membuka lebih banyak
pilihan alternatif bagi rakyat karena seluruh parpol peserta pemilu dapat
mengajukan pasangan calon terbaiknya.
Lebih
dari itu, menurut penulis, dengan semakin banyak pasangan capres-cawapres akan
terjadi kontestasi ide dan gagasan alternatif yang lebih variatif sehingga akan
mendinamisasi proses demokrasi dan mempercepat proses konsolidasinya.
Kontestasi ide dan gagasan itulah yang sejatinya dapat menjadi sarana pencerdasan
rakyat untuk memilih Presiden-Wapres yang lebih berkualitas di banding lainnya
(primus interpares).