Koran SINDO
Sabtu, 11 Januari 2014 − 06:32 WIB
JAZULI JUWAINI
MEKANISME pemilihan kepala daerah
menjadi isu yang paling hangat didiskusikan dalam rangka pembahasan
Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) di
DPR RI.
Pemerintah dan sejumlah kalangan Dewan menghendaki
perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah dari langsung menjadi tidak
langsung atau melalui mekanisme perwakilan sebagaimana langgam yang
pernah berlaku pada Orde Baru. Namun, ada juga pihak yang tetap ingin
mempertahankan pemilihan langsung oleh rakyat pada setiap tingkatan
pilkada.
Ada tiga opsi
yang berkembang dalam pembahasan mekanisme pemilihan kepala daerah. Opsi
pertama, tetap sebagaimana yang berjalan saat ini, pemilihan kepala
daerah langsung untuk provinsi dan kabupaten/ kota.
Opsi kedua,
pemilihan kepala daerah langsung untuk provinsi dan mekanisme perwakilan
(dipilih DPRD) untuk kabupaten/kota. Opsi ketiga, mekanisme tidak
langsung (dipilih DPRD) untuk provinsi dan pemilihan kepala daerah
langsung untuk kabupaten/ kota.
Opsi pertama didasarkan pada
argumentasi umum bahwa pemilihan langsung oleh rakyat lebih menjamin
keterwakilan rakyat dan sehingga lebih
tinggi derajat demokratisnya karena setiap suara rakyat bernilai dalam proses sirkulasi kepemimpinan daerah (
one person one vote one value).
Menjadi mundur (
set-back) secara demokrasi jika deliberasi hak pilih rakyat ditarik kembali
atas alasan apa pun karena hak memilih merupakan hak dasar rakyat dalam demokrasi dan ini sudah menjadi komitmen pasca reformasi.
Sementara
itu, opsi kedua dan ketiga menghendaki mekanisme pemilihan kepala
daerah diubah (dikembalikan) melalui mekanisme perwakilan, hanya bedanya
pada tingkat mana mekanisme perwakilan diberlakukan. Argumentasi utama
dua opsi
ini: Pertama, untuk tujuan efisiensi anggaran negara dalam penyelenggaraan pilkada.
Semua mafhum bahwa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung menyedot anggaran
negara/daerah yang sangat besar
vis
a vis kapasitas anggaran negara/ daerah untuk pembangunan. Kedua, untuk
tujuan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dikaitkan dengan
konseptual titik tekan otonomi dan koordinasi antartingkat pemerintahan
daerah.
Konsekuensi dari tiap-tiap kepala daerah dipilih
langsung oleh rakyat mereka merasa memiliki legitimasi riil dari rakyat,
yang dalam banyak kasus menyulitkan koordinasi oleh tingkat
pemerintahan di atasnya.
Terungkap sejumlah kasus betapa
sulitnya gubernur sebagai kepala daerah provinsi sekaligus wakil
pemerintah pusat dalam melaksanakan koordinasi dengan bupati dan wali
kota di wilayahnya. Bupati dan wali kota “membangkang” terhadap
instruksi gubernur bahkan pemerintah pusat cq Kementerian DalamNegeri.
Rapat-rapat koordinasi oleh gubernur acapkali sepi dari kehadiran bupati
dan wali kota dan hanya diwakili setingkat kepala dinas atau kepala
biro yang juga tidak memiliki kewenanganmengambilkebijakan.
Di
lain pihak dalam kerangka pelayanan publik dan administrasi pemerintahan
daerah, ujung tombak pelaksana pelayanan publik dan administrasi ada
pada pemerintahan kabupaten/kota. Berdasarkan undang-undang sejatinya
pemerintah provinsi hanya memiliki dan melaksanakan kewenangan
pemerintahan lintas kabupaten/kota.
Ini menjadi materi diskusi
perihal di mana sebenarnya letak titik tekan otonomi yang kemudian
menghadirkan dasar argumentasi pemilihan kepala daerah secara langsung
oleh rakyat lazim dilaksanakan pada daerah yang menjadi titik tekan
(lokus) otonomi daerah.
Pilkada langsung tetap pilihan terbaik Penulis
ikut serta dalam diskursus dan pembahasan RUU Pilkada di DPR dalam
kapasitas sebagai anggota Komisi II memiliki pandangan dan pendapat
bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat (pilkada)
sebagaimana langgam yang berjalan pasca reformasi tetap merupakan
pilihan terbaik: terbaik bagi rakyat, bagi kemajuan demokrasi, serta
bagi proses pembangunan daerah dalam kerangka otonomi. Pada posisi ini
penulis ingin menyanggah argumentasi pihak yang
mengusulkanpemilihankepaladaerah melalui perwakilan.
Pertama, capaian terbesar reformasi
politik
sejak 1998 adalah pemulihan dan penguatan peran dan partisipasi rakyat
dalam proses politik dan kebijakan. Pemilihan umum adalah
pengejawantahan demokrasi yang diperjuangkan melawan tirani dan
otoritarianisme Orde Baru.
Dalam konteks ini pemilihan kepala
daerah secara langsung oleh rakyat sejatinya kritik terhadap mekanisme
pemilihan kepala daerah melalui DPRD pada masa Orde Baru yang dinilai
mengebiri dan memanipulasi suara rakyat.
Kalau saat ini kita
kembali pada mekanisme lama, sama saja dengan set-back atau kemunduran
demokrasi. Argumentasi efisiensi terbantahkan dengan harga yang harus
dibayar dari set-back demokrasi itu. Atas nama efisiensi mengorbankan
capaian demokrasi dan penguatan peran dan partisipasi rakyat dalam
proses demokrasi.
Kendati demikian, kita juga tidak perlu
menutup mata atas permasalahan dan kelemahan pelaksanaan pilkada selama
ini yang harus kita perbaiki dengan menyempurnakan perangkat regulasi,
meningkatkan kesadaran para aktor, dan menegakkan hukum dan aturan
secara konsekuen.
Bukan dengan menegasi mekanisme demokratis ini
dan kembali pada langgam pemilihan (perwakilan) yang juga tidak
menjamin demokrasi itu sendiri.
Kedua, argumentasi pemilihan
kepala daerah tidak langsung dikaitkan dengan tujuan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan daerah (fungsi koordinasi dan lokus
otonomi) juga bukan alasan yang sepenuhnya tepat. Penulis berpendapat
bahwa hambatan fungsi koordinasi dan supervisi antartingkat pemerintahan
bukan disebabkan oleh pemilihan kepala daerah secara langsung oleh
rakyat.
Ini semata-mata berkenaan dengan manajemen pemerintahan
(menyangkut proses dan kualitas kebijakan publik serta kapabilitas dan
profesionalitas kepala daerah dalam melaksanakan kewenangan sesuai
peraturan perundang-undangan).
Penulis yakin jika manajemen
pemerintahan daerah dilaksanakan secara profesional, jujur dan
berintegritas, serta dalam rangka pelaksanaan program-program yang
berkualitas, tidak ada alasan dan ruang bagi pemerintah daerah (provinsi
dan kabupaten/kota) terkendala friksi masalah.
Jika pola
koordinasi dan supervisi dilaksanakan atas dasar kepentingan rakyat,
tidak ada alasan bagi masing-masing tingkat pemerintahan daerah untuk
lari dari tanggung jawab. Penulis justru menduga hambatan koordinasi dan
supervisi terjadi akibat kepentingan politik dan kekuasaan (
conflict of interest)
dari oknum kepala daerah dan pihak-pihak tertentu yang sama sekali
tidak berhubungan dengan kepentingan rakyat dan pembangunan daerah
sebaliknya mereka yang ingin membangun oligarki kekuasaan di daerahnya.
Di
era keterbukaan informasi saat ini sejatinya potensi oligarki kekuasaan
itu dapat dikikis habis jika manajemen pemerintahan daerah dijalankan
secara profesional, penuh integritas, dan berkualitas.
Kalau
nyata-nyata program pemerintah pada tingkat yang lebih tinggi (baik
program pemerintah pusat atau program pemerintah provinsi) berkualitas
dan dipahami manfaatnya bagi masyarakat luas melalui strategi publikasi
media yang baik, bisa saja pemerintah kabupaten/ kota yang mengabaikan
bahkan menghambat program tersebut akan terpojok oleh pemberitaan dan
opini media sehingga mendapatkan
blacklist dari masyarakat.
JAZULI JUWAINI Anggota Komisi II DPR RI/ Peserta Program Doktor Manajemen SDM UNJ