Jazuli Juwaini
Anggota Komisi II DPR RI/FPKS
(Opini HU Republika, 28/06/2013)
Hiruk pikuk Pemilu 2014
sudah mulai terasa saat ini. Tahun 2013 disebut juga sebagai tahun politik.
Awal tahun ini dibuka dengan beberapa penyelenggaraan Pilkada seperti di Jawa
Barat, Sumatera Utara, terakhir beberapa waktu lalu di Jawa Tengah. Belum lagi
pilkada-pilkada di tingkat kabupaten turut menambah keriuhan dinamika politik.
Pilkada-pilkada yang telah, sedang dan akan berlangsung di 2013 ini menjadi
semacam ajang untuk menguji kekuatan mesin partai sebelum berlaga di Pemilu
2014. Partai-partai politik mulai berhitung dengan hasil pilkada guna
mempersiapkan diri menghadapi Pemilu 2014, rakyat pun sudah mulai
menimbang-nimbang partai mana yang akan dipilihnya kelak sembari berharap akan
ada perubahan yang lebih baik di negeri ini.
Penyelenggaraan Pemilu
yang berkualitas merupakan suatu keniscayaan. Harapan rakyat akan perbaikan
negeri ini akan dapat terwujud manakala pemilu 2014 dapat menghasilkan
wakil-wakil rakyat dan pemimpin negara yang mempunyai kompetensi, kapasitas dan
akuntabilitas, mampu mensejahterakan rakyat serta aspiratif terhadap
kepentingan-kepentingan bangsa dan Negara.
Oleh karena itu seluruh
elemen bangsa harus memastikan pemilu 2014 mendatang dapat mencapai hasil yang
optimal sebagai bagian dari upaya konsolidasi demokrasi yang semakin kuat.
Maka, perlu dicermati prasyarat pemilu yang berkualitas sebagai berikut. Pertama
pemilu diselenggarakan oleh KPU dan Bawaslu yang memiliki integritas, kapabilitas
dan akuntabilitas serta yang tak kalah penting independen.
Disebutkan dalam UU
Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu bahwa penyelenggaraan pemilu
yang berkualitas diperlukan sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat
dalam pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. KPU sebagai garda
terdepan dalam penyelenggaraan pemilu, harus netral, non partisan dan mandiri
dengan bersikap profesional dan independen. Kerja-kerja KPU akan diawasi banyak
pihak, mulai dari tahapan persiapan hingga tahapan penyelesaian. KPU tidak
hanya berurusan dengan parpol, tapi juga birokrasi pemerintah, Bawaslu, civil society, aktivis pemilu, dan
kampus.
KPU dituntut mampu
melaksanakan pemilu secara aman, damai, dan demokratis. Jika terjadi
penyimpangan akan memicu konflik dalam masyarakat. Belajar daripengalaman
Pemilu 2009, kinerja KPU dianggap mengecewakan, dan kemandiriannya
dipertanyakan, sehingga DPR menggunakan hak interpelasi untuk menyelidiki
banyaknya masyarakat yang tidak bisa memilih, lalu mengganti UU No.22/2007
dengan UU No.15/2011.
Anggota KPU diharapkan mampu
menjaga integritas dan independensinya dalam menyelenggarakan pemilu, sehingga
keputusan KPU dapat diterima dan memiliki legitimasi yang kuat. KPU juga harus
bekerja berdasarkan undang-undang yang ada, tidak boleh KPU membuat aturan yang
melebihi kewenangan yang diberikan undang-undang atau yang subtansinya melebihi
aturan undang-undang. Hal ini untuk menjamin agar pemilu benar-benar
konstitusional dan tidak menimbulkan kericuhan yang tidak perlu dalam
implementasinya.
KPU sebagai
Penyelenggara pemilu juga harus lebih gencar menyampaikan sosialisasi dan
pendidikan politik kepada masyarakat. Hal ini sangat penting, dalam rangka
menumbuhkan kesadaran dan memberikan pengetahuan masyarakat agar menggunakan
hak pilihnya dan berpartisipasi dalam pemilu.
Kedua, pemilu yang berkualitas ditandai dengan meningkatnya partisipasi
publik, termasuk dalam tahapan-tahapannya. Pemilu 2014 harus dapat menghapuskan apatisme
rakyat terhadap proses dan hasil pemilu. Hasil
evaluasi atas
pemilu menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan pemilu selalu menurun. Pemilu setelah reformasi
mencatatkan angka gloput yang terus meningkat. Pada
pemilu
1999 golput
mencapai 10,4 persen dan meningkat pada pemilu 2004 sebesar 23,34
persen. Golput meningkat
drastis pada pemilu legislatif tahun 2009 mencapai angka
29,01 persen. Artinya pada Pemilu 2009 partisipasi masyarakat hanya
sekitar 71 persen.
Sehingga pemilu 2014
dibayangi oleh angka partisipasi yang rendah, sebaliknya angka golput yang
tinggi. Bahkan, potensi golput pada
2014 dikhawatirkan semakin tinggi. Hal ini terindikasi
berdasarkan hasil survei yang dilakukan Lingkaran
Survei Indonesia (LSI) pada Tanggal 1-12 Februari 2012 terhadap 2.050 responden
dengan metode acak bertingkat. Hasil survei menyatakan bahwa
lebih dari 50 persen responden berpotensi tidak akan memilih pada Pemilu 2014. Ini bisa menjadi early warning bagi semua pihak bahwa political turnout bisa menjadi ancaman
demokrasi, apalagi jika pilihan untuk golput didasarkan pada kesadaran politik
bahwa pemilu tidak berguna karena tidak ada kepercayaan pada proses dan hasil
pemilu.
Gejala di atas ditunjukkan
dengan fenomena turunnya kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu
(KPU); ketidakpecayaan publik pada partai politik (parpol) maupun calon
legislatif (caleg) yang diusung parpol juga; ketidakpercayaan pada legitimasi
pemerintahan dan legislatif yang tidak bisa mengubah keadaan masyarakat. Intinya
manfaat pemilu tidak dirasakan oleh masyarakat. Pemilu dianggap hanya menjadi
ajang perebutan dan kontesatsi kekuasaan, yang kemudian setelah berkuasa tidak
memikirkan kepentingan rakyat. Rakyat hanya dilihat sebagai angka-angka
pemenangan dari pemilu ke pemilu, usai pemilu diabaikan dalam proses-proses
kebijakan. Ini sangat berbahaya karena apatisme rakyat atas lembga-lembaga
demokrasi menjadi faktor penghambat terbesar bagi upaya konsolidasi demokrasi. Jika kondisi ini terus
dibiarkan bukan tidak mungkin rakyat menginginkan kembali pada sistem sebelum
reformasi.
Rakyat sudah apatis
terhadap penyelenggara pemilu yang tidak independen, mudah dipengaruhi kekuatan
politik tertentu. Masyarakat juga sudah muak dengan kasus-kasus korupsi yang
menyebabkan merosotnya kredibilitas penyelenggara (lembaga-lembaga) negara. sedikitnya aktor politik muda yang diharapkan
membawa perubahan, dan kurang bermaknanya lembaga demokrasi formal dalam
pemajuan dan pemenuhan hak-hak dasar warga menambah daftar panjang apatisme
publik. Lemahnya kaderisasi partai politik juga ditengarai menjadi salah satu
penyebab penurunan partisipasi pemilih.
Untuk
itu, momentum pemilu
juga membutuhkan sebuah pemaksimalan keterlibatan masyarakat. Tanpa adanya
pemaksimalan pelibatan masyarakat, maka pemilu hanya akan
menjadi instrumen formal dan indikator penilaian demorkasi saja, tanpa adanya
substansi. Dengan demikian, partisipasi masyarakat
dalam proses penyelenggaran pemilu harus terus ditingkatkan.
Ketiga, pemilu
berkualitas membutuhkan perbaikan pendataan pemilih. Tingginya angka golput
dalam pemilu-pilkada, ternyata bukan hanya karena masyarakat tidak mau
menggunakan hak pilihnya. Namun kekacauan dan ketidakberesan dalam pendataan pemilih
membuat banyak masyarakat yang tidak mendapatkan kartu pemilih walaupun
mempunyai hak untuk memilih. Pemberlakukan KTP elektronik (e-KTP) akan
menghadapi ujian keberhasilan dalam pemilu 2014 yang akan datang. Oleh karena
itu, menjelang pemilu ini, Pemerintah dituntut untuk mengefektifkan pelayanan
dan pendataan penduduk berbasis e-KTP karena sampai kini masih banyak penduduk
yang belum memperoleh e-KTP meski sudah terdaftar, dan bisa jadi masih banyak
penduduk yang belum mendaftar e-KTP.
Keempat, pemilu berkualitas
menuntut penghapusan budaya politik transaksional. Harus ada upaya
preventif dan represif dalam menekan money politic. Perilaku pemilih
saat ini menurut sejumlah riset ditengarai sangat pragmatis materialistik,
sebab rakyat sudah mempunyai steorotype
bahwa semua elit dan partainya mempunyai kecenderungan yang sama. Berlaku baik
ketika kampanye, namun ketika sudah terpilih meninggalkan rakyatnya. Relasi
pemilih dengan politisi yang demikian sangat berbahaya dan meruntuhkan sendi-sendi
demokrasi kita. Peran partai politik yang cenderung masih menjadikan calon yang
diusung sebagai sumber uang mengakibatkan politik transaksional terus
berlangsung. Kualitas caleg tidak dipertimbangkan, masyarakatpun menjadi
terbiasa menerima uang dari caleg atau parpol.
Mata rantai politik
transaksional bisa diputus dengan cara menonjolkan calon-calon berkualitas
dalam pemilu legislatif, penjaringannya pun harus melalui proses yang
demokratis. Masyarakat akan dengan sendirinya memberikan penilaian yang objektif
terhadap calon tersebut. Sehingga, calon tidak perlu mengeluarkan uang untuk
meyakinkan pemilihnya. Dan pemilu akan menghasilkan legislatif dan eksekutif
yang memiliki legitimasi kuat dan berkualitas.
Kelima, pemilu
berkualitas mensyaratkan penyelenggaran pemilu sesuai dengan asas jujur, adil,
tertib, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas,
efisiensi, dan efektivitas. Penyelenggaraan adil dalam aturan main dan memberi
kesempatan yang sama kepada semua pihak yang terlibat. Fairness competition penting ditegakkan karena demokrasi yang
berkualitas hanya tumbuh dari cara-cara yang beradab dan berkeadilan.
Pemilu 2014 merupakan
momentum bagi rakyat Indonesia untuk membuka lembaran baru sejarah demokrasi
Indonesia. Demi terlaksannya pemilu yang berkualitas, peningkatan kinerja
penyelenggaraan pemilu harus diperbaiki dan ditingkatkan, bukan hanya terkait
dengan kinerja teknis penyelenggaraan, namun juga dalam hal penumbuhan
kesadaran tentang pentingnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu.
Partai politik dan para calon memiliki andil besar dalam mewujudkan pemilu
berkualitas dengan perilaku politik yang terpuji.