Jakarta
(ANTARA) - Ketua Panitia Kerja RUU Jaminan Produk
Halal (JPH) DPR RI Jazuli Juwaini mengatakan, kalangan DPR bersama pemerintah
berkomitmen menyelesaikan Undang-Undang JPH pada masa sidang kali ini atau
periode Januari hingga April 2013.
Jazuli menilai kehadiran
Undang-Undang JPH telah lama dinantikan umat muslim, sehingga tidak ada alasan
untuk menunda-nunda pengesahannya.
"DPR bersama pemerintah berkomitmen menyelesaikan RUU
JPH pada masa sidang kali ini. Dan tidak ada alasan menunda-nunda pengesahannya
menjadi undang-undang," kata Jazuli melalui pesan singkat yang diterima di
Jakarta, Senin malam.
Jazuli mengatakan bahwa selama ini proses JPH telah
berjalan dan diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan organ pelaksananya
yakni Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM MUI).
Menurut dia secara kelembagaan MUI beserta LPPOM-nya
merupakan lembaga sertifikasi halal yang diakui selama ini. Namun dia
mengatakan bahwa sistem JPH bukan perihal sertifikasi semata melainkan mencakup
aspek pengembangan, sosialisasi dan edukasi, pengawasan, pembiayaan, serta
penegakan aturan atau "law enforcement".
"MUI bukan lembaga negara dan bukan alat negara
sehingga segala instrumen untuk menjalankan sistem JPH secara komprehensif
tidak bisa dijalankan hanya oleh MUI. MUI tidak memiliki kewenangan untuk
mengawasi produk dan produsen, selain itu MUI juga tidak dapat menerapkan
sanksi kohersif atas pelanggaran karena bukan aparat penegak hukum," kata
dia.
Dia menilai MUI dengan keterbatasan dana juga tidak dapat
melakukan upaya-upaya masif dalam melakukan JPH di kalangan produsen maupun
konsumen. Di sisi lain sifat sertifikasi JPH yang sukarela juga dinilai
menjadikan JPH sering tidak menjadi perhatian bagi kalangan produsen.
"Berkenaan dengan permasalahan di atas, Undang-Undang
JPH ini ingin menyempurnakan penyelenggaraan JPH yang sudah berjalan baik
selama ini. Oleh karena itu, materi utama yang sedang dibahas mendalam oleh
Panitia Kerja RUU adalah bagaimana mengintegrasikan upaya-upaya mengatasi
kelemahan tersebut dalam satu sistem JPH yang komprehensif dan dapat berjalan
efektif," kata dia.
Dia menekankan dalam Undang-Undang JPH nantinya perlu
diatur berbagai hal untuk memastikan jaminan produk halal bagi masyarakat.
Pertama, kata dia, perlu kelembagaan yang kuat untuk dapat
membangun dan melaksanakan JPH secara efektif mencakup seluruh aspek sistem JPH
itu sendiri. Dalam kelembagaan tersebut menurutnya, peran MUI sangat sentral
karena kapasitas "syar`I" selaku ulama dalam menentukan halal-haram
serta seppak terjang selama ini dalam penyelenggaraan sertifikasi halal.
"Sistem sertifikasi halal yang sudah berjalan
diharapkan dapat terintegrasi dalam kelembagaan yang lebih kuat ini.
Kelembagaan dimaksud adalah instrumen negara apakah berbentuk badan di bawah
presiden atau kementerian, di mana kelembagaan tersebut akan memproses JPH
sejak registrasi produk, penelitian dan pengujian produk, hingga penetapan
fatwa dan penerbitan sertifikat halal oleh MUI," ujar dia.
Kedua, kelembagaan JPH menurutnya harus memiliki kewenangan
yang kuat untuk mensosialisasikan JPH, melakukan upaya-upaya pengembangan dan
edukasi JPH, kerjasama internasional dalam JPH, serta melakukan pengawasan atas
produk dan produsen. Di samping itu kelembagaan tersebut akan dapat melakukan
"law enforcement" atas pelanggaran.
"Segala biaya yang timbul dari operasional kelembagaan
didanai oleh negara sebagai bentuk tanggung jawab negara kepada publik. Tentu
dalam implementasinya kelembagaan ini dapat bekerjasama dan berkoordinasi
dengan instansi kementerian atau lembaga terkait," kata dia.
Ketiga, terkait sifat sertifikasi dalam JPH menurut dia
semangatnya adalah memperkuat yang sudah berjalan. Sehingga apabila selama ini
sifatnya sukarela, maka ke depan diharapkan dapat meningkat menjadi wajib,
dengan mempertimbangkan kemudahan layanan dan biaya bagi usaha-usaha mikro dan
kecil. "Bahkan untuk
kategori usaha ini sangat mungkin digratiskan," kata dia.
Jazuli mengatakan dengan penguatan JPH diharapkan seluruh
warga negara dapat mengkonsumsi produk yang halal, aman, dan sehat sehingga
kasus-kasus seperti bakso oplosan, makanan berformalin, dan sebagainya tidak
akan terulang. (ar)